Di antara gagasan tentang sastra keagamaan yang paling vital di Indonesia ialah tatkala Kuntowijoyo melontarkan tentang perlunya sastra transendental pada dekade awal 1980-an. Di belahan lain, sebelumnya, kita mengenal tentang humanisme universal yang diusung oleh Chairil Anwar, eksistensialisme oleh Sitor Situmorang, marxisme dalam sastra Pramoedya Ananta Toer. Bersamaan dengan gagasan Kuntowijoyo itu, disambut dengan bersemangat oleh Abdul Hadi W.M. melalui sufisme dalam sastra Indonesia. Perlunya sastra transendental itu, bagi Kuntowijoyo, sebagai bagian dari upaya penyelamatan dari keterikatan yang wadag, daging, sehingga tercerabut keruhanian kita dari kehidupan ini. Ada dimensi yang hilang dari religi, yang tidak lain dan tidak bukan ialah dimensi religiositas, yang mengkoneksikan antara badan dengan ruh, manusia dengan Tuhannya.
Akan tetapi, gagasan sastra transendental yang seakan hanya berurusan dengan "Yang jauh di Atas Sana" itu oleh Kuntowijoyo kemudian lebih di bumikan lagi dengan penjelasan perlunya sentuhan profetik di dalam ilmu sosial, di samping di dalam kesusastraan. Dengan seruan perlunya sastra profetik ini, sesungguhnya Kuntowijoyo ingin mengajak kembali ingat terhadap tugas-tugas kemanusiaan kita yang tidak sebatas di kehidupan yang terbatasi oleh dimensi ruang dan waktu ini, melainkan menyambung kepada kehidupan ruhani, kehidupan akhirat, yang hal tersebut penting selaku insan yang memiliki keimanan terhadap Tuhan.
Oleh sebab itu, tepat empat hari sebelum Kuntowijoyo meninggal dunia, selesailah "Maklumat Sastra Profetik" ditulisnya, yang kemudian ia kirimkan ke majalah sastra Horison, sebagai bentuk tanggung jawab Kuntowijoyo menjadi penggagas awal dari sastra profetik ini di Indonesia. Artikel tersebut seakan menjadi wasiat Kuntowijoyo yang terakhir kali yang perlu disampaikan kepada publik.
Penulis | : | Kuntowijoyo |
---|---|---|
Penerbit | : | DIVA Press |
Tahun terbit | : | 2019 |
ISBN | : | 978-602-391-750-1 |
Halaman | : | 176 |