“Jika aku berada di pihak si pandir Rajab Syamsudin, aku akan menanggalkan pekerjaan itu,†kata ayahku dahulu ketika menceritakan kisah ini kepada kami. “Dapatkah kau bertahan membayangkan dirimu adalah seorang yang ditugaskan membawa peluru ke mana-mana, tapi tak pernah diberi kesempatan memegang senjata, bahkan sepucuk bedil pun ‘haram’ untuk dapat kau letuskan? [Rajab Syamsudin si Penabuh Dulang]
“Tak tahu diuntung kau. Berhenti sajalah kau sekolah!†Ibu melecutnya lagi dengan ranting berduri itu. Betis yang telanjang, yang hitam legam karena berpanas-berhujan, kini bergaris-garis merah sisa lecutan. Mata Siak melembap. Dari jejak lecutan, mengalir darah.
Pergilah sekarang, celaka kau nanti dipukul Ibu, kata saya dalam hati. Kau tahu bagaimana kalau Ibu berang? Pergilah sekarang, celaka kau nanti!
Siak diam saja. Ibu melecutnya lagi. [Isak Siak]
Puluhan tahun yang lalu Barzanzi dan ibuku masih tinggal dalam satu rumah gadang, wajah mereka nyaris mirip sama sekali kecuali pada sudut mata yang satu lancip dan yang lain tumpul. Mereka hidup dalam adat yang taat sebagai keluarga raja-raja. (Tapi ibuku memilih kawin dengan seorang biasa dan mendapat cercaan sepanjang umurnya). [Rumah Kecil di Seberang Jalan]
Dia hendak menuruni tangga kapal ketika ingatan pada mimpinya tiba-tiba menghentikannya. Beberapa hari belakangan ini, dia terbayang lagi leher-leher yang putus tertebas parang, decap bunyi anak panah menghunjam kulit tubuh, atau letusan meriam yang menyalak tiada henti.
Dan kini, mereka akan memasuki kancah pertempuran yang lain lagi. Ke Sumatera, ke Sumatera, mereka akan berhadapan dengan prajurit-prajurit Bonjol yang terkenal tak bisa dikalahkan. Entah ruh macam apa yang telah merasuki prajurit-prajurit berseragam putih-putih itu hingga mereka seperti tak mengenal kata takut sedikit pun, begitu dia mendengar di Batavia. [Langit Bandar Padang]
Sipasanrimbo hanya berdiri mematung di belakang Mamuaya. Ia lebih sering menatap ke bawah, ke arah tanah. Ia masih tak percaya: apa yang pernah disebutkan ibunya ketika ia masih kanak-kanak, kini akan dikerjakannya, dan nanti akan dipelajarinya dengan saksama. Ia mencoba meyakinkan dirinya, bahwa tak semua orang mendapati kesempatan seperti yang sebentar lagi, ia yakin, sebentar lagi, akan ia alami. Hanya keluarga tertentu saja yang tahu dan mampu melakukan ritual ini. Dan kaumnya adalah satu di antaranya, kata ibunya pernah bercerita. [Tenung yang Berjalan Malam]
Deddy Arsya tekun melihat tempat kelahirannya dari banyak sisi, merekamnya di kepala, untuk kemudian disajikan kepada pembaca setelah diramu melalui olahan katanya. Sebagian terasa menyentil, sebagiannya lagi seperti sajian alam Sumatra Barat yang nyaman untuk dinikmati.
Melalui kumpulan cerpen ini, kita dapat menyaksikan Padang dari berbagai sisi; mulai dari yang sudah sering tersiar hingga kisah yang paling samar.
Penulis | : | Deddy Arsya |
---|---|---|
Penerbit | : | Diva Pres |
Tahun terbit | : | 2016 |
ISBN | : | 978-602-391-321-3 |
Halaman | : | 200 |