Pak dokter segera memasang lampu pada jidatnya untuk memeriksa lubang telinga Rerasan. Dengan alat kecil dan pipih pak dokter men-cuthiki kulit lama terkelupas yang menutup kendangan. Hasil cuthikan-nya ditaruh pada kertas tissue. Ketika Rerasan memandangi kulit-kulit nglungsungi itu, seperti tampak setinggi gunung anakan. Wah, wah, wah. Mengerikan sekali. Pada lereng gunung ada lubang-lubangnya. Dari lubang keluar tikus-tikus. Segala macam tikus bersembunyi dalam tumpukan kulit yang menggunung itu. Ada tikus werok, tikus berit, tikus clurut, tikus mambu. Tikus-tikus itu mewakili berbagai macam watak yang kurang baik: serakah, drengki, srei, panasten, curiga, kurang percaya, cemburu, bernafsu merebut dan sebangsanya. Tentu saja, dalam kenyataan tidak demikian. Ini hanya imajinasi Rerasan bahwa jika dalam telinganya ada berbagai macam watak jelek bersembunyi di sana, bagaimana bisa mendengar pesan-pesan kemerdekaan sejati; bagaimana bisa nggraita atau meraba sincererity Pesan kemerdekaan sejati, pesan tulus setulus semangat perjuangan para pendekar bangsa dulu, hanya bisa didengar kalau kuping lebih tajam, dari kuping kelelawar. Rerasan bersyukur berkenalan sangat baik dengan seorang dokter ahli kuping yang bisa membersihkan kendangan dari kelupasan kulit yang dibayangkan Rerasan sebagai simbol perilaku kurang baik, sehingga Rerasan bisa mendengar dibalik ucapan hura-hura saja.
Penulis | : | Bakdi Soemanto |
---|---|---|
Penerbit | : | DIVA Press |
Tahun terbit | : | 2024 |
ISBN | : | 978-623-189-343-7 |
Halaman | : | 320 |