"Saya memang tidak terlalu suka bergaul dengan orang. Saya lebih suka bergaul dengan tanaman karena lebih sabar daripada orang. Lagi pula mereka tidak pernah usil. ltulah sebabnya saya menaruh dua pot bunga berisi tanaman suplir di beranda rumah kontrakan saya dan merasa senang karena bisa menanami halaman belakang rumah itu dengan bunga-bunga: mawar putih dan melati.
Menurut sebuah buku yang pernah saya baca, mawar adalah simbol cinta yang suci. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan cinta yang suci itu, tak jelas benar bagi saya. Tapi sungguh, kuntum-kuntum mawar putih yang sedang merekah memang sedap dipandang. Apalagi apabila kuntum-kuntum bunga itu baru saja disirami dan tetes-tetes air tampak bergulir membasahi kelopaknya. Sering kali pada saat-saat seperti itu, saya teringat kepada Tuhan. Dan saya merasa bahagia."
Selain cerpen-cerpen bertema cinta yang gelisah dan kesunyian manusia, sebagian cerpen dalam buku ini menyiratkan rasa simpati pengarangnya terhadap mereka yang menjadi korban dalam sejumlah peristiwa kelam di berbagai belahan bumi, dari Aceh sampai Argentina: orang hilang, pembantaian yang dilupakan, perkosaan atas nama perang.
"Waktu menjadi jumpalitan dalam cerpen Anton Kurnia... Namun demikian, jumpalitan sang waktu hanya terjadi dalam benak... Ini sangat menarik."—Bakdi Soemanto, kritikus sastra dan guru besar sastra Universitas Gadjah Mada; Jurnal Cerpen Indonesia, No. 2, 2002
Penulis | : | Anton Kurnia |
---|---|---|
Penerbit | : | DIVA Press |
Tahun terbit | : | 2019 |
ISBN | : | 978-602-391-799-0 |
Halaman | : | 168 |