Orang-orang pesantren sudah telanjur terdoktrin bahwa posisi perempuan harus berada di bawah posisi laki-laki, karena secara “kodrat”, laki-laki diberikan sesuatu yang lebih daripada perempuan. Urusan perempuan dibatasi hanya di ruang domestik (dapur, sumur, dan kasur), dan tidak boleh aktif di ruang publik, karena dikhawatirkan menyebabkan fitnah. Istri wajib tunduk kepada suami, bahkan jika manusia boleh menyembah manusia, istri wajib menyembah suaminya. Aturan ini “given”, tak bisa diubah, karena telah difatwakan oleh para ulama, baik salaf maupun khalaf, di kitab-kitab kuning yang memang menjadi pegangan orang-orang pesantren. Pertanyaannya, sebegitukah Tuhan “memperlakukan” kaum perempuan? Apakah Tuhan tidak suka mereka menjadi apa saja yang berguna bagi masyarakatnya? Tidak. Sebab, realitas mutakhir menunjukkan bahwa banyak perempuan yang jadi presiden, menteri, ulama, pejuang, bahkan tidak sedikit putra-putra kiai yang jadi tokoh publik dan kuliah ke luar negeri tanpa bersama mahram. Lantas, bagaimanakah menghadapi realitas demikian? KH. Husein Muhammad memberikan jawabannya di buku ini. Menurut kiai feminis ini, kita harus membuat tafsir baru terhadap al-Qur’an dan hadits, fiqh baru, fiqh emansipatoris, fiqhul aman, karena produk-produk fiqh klasik sudah “basi” untuk dinamika masyarakat kontemporer yang sedang mengalami globalisasi.
Penulis | : | KH. Husein Muhammad |
---|---|---|
Penerbit | : | Ircisod |
Tahun terbit | : | 2020 |
ISBN | : | 9786236699195 |
Halaman | : | 396 |