Problem mendasar dari munculnya aliran-aliran dalam Islam adalah problem dalam memahami cita-cita teks agama. Dasar dari semua aliran itu sama, yakni al-Qur’an dan hadits. Namun, pemahaman mereka terhadap dua teks itu berbeda-beda, bergantung pada metode dan pendekatan yang dipakai, agar kesimpulan yang didapatkan lebih mendekati kebenaran dan relatif sejalan dengan yang dimaksud oleh kedua teks tersebut. Memahami teks tidaklah sekadar menafsirkannya, melainkan lebih dalam dan luas lagi, yakni melalui apa yang disebut sebagai “takwil”. Al-Qur’an menyebut kata ini (“takwil”) sebanyak 18 kali, sementara kata “tafsir” hanya satu kali. Nabi Muhammad Saw. juga sering menggunakan “takwil” untuk mendoakan sahabat-sahabat beliau. Hal itu menunjukkan dengan jelas betapa “takwil” merupakan teori atau pendekatan yang memperoleh apresiasi tinggi dari Tuhan maupun Nabi Saw., dan menjadi cara generasi awal Islam dalam memahami teks keagamaan. Dengan takwil, pemahaman terhadap cita-cita teks lebih bersifat progresif daripada konservatif, dan lebih kontekstual daripada sekadar tekstual. Sayangnya, takwil telah distigma sesat dan menyesatkan karena kata “takwil” telah demikian dipahami sebagai “hermeneutika” yang Barat sentris. Padahal, hermeneutika sendiri sebenarnya “Islami” karena berasal dari Hermes, yakni Nabi Idris As.
Penulis | : | Memahami Cita-cita Teks Agama |
---|---|---|
Penerbit | : | IRCiSoD |
Tahun terbit | : | 2024 |
ISBN | : | 978-623-8108-59-6 |
Halaman | : | 244 |