Pertama mendengar gagasan mubâdalah atau kesalingan, banyak yang meloncat pada kesimpulan keliru. Jadi, menurut mubâdalah, kalau laki-laki boleh poligami, maka perempuan juga boleh poliandri? Begitu pun kira-kira respons awal saya saat pertama mendengar pendekatan ini di sebuah workshop pengkaderan ulama perempuan Rahima. Tentu saja, kesimpulan tersebut keliru karena yang disalingkan adalah kemaslahatan ajaran Islam. Terkadang, bisa langsung secara tekstual disalingkan. Seringnya, justru mesti melampaui teksnya agar tidak terjebak pada kesimpulan atas kemaslahatan salah satu pihak dengan cara memberikan beban pada pihak lain secara tidak imbang. Kapan kesalingan dapat dilakukan secara tekstual dan kapan mesti melampaui teksnya, buku ini menjelaskan secara detail. Qiraah mub?dalah yang ditawarkan oleh buku ini sesungguhnya merupakan sumbangan penting, tidak hanya dalam memahami teks-teks keagamaan, melainkan juga sebagai cara pandang dunia. Meskipun metode ini dimaksudkan untuk merespons teks-teks primer dalam Islam yang menggunakan bahasa dengan kesadaran gender tertentu, namun metode yang sama juga bisa menjadi cara baru dalam melihat keragaman sosial agar tidak melahirkan ketimpangan relasi. Ketimpangan relasi, apa pun, bisa melahirkan ketidakadilan karena berawal dari cara pandang negatif terhadap perbedaan antarpihak yang mempunyai relasi. Salah satu tantangan serius ikhtiar mewujudkan keadilan gender adalah cara pandang dikotomis pada laki-laki dan perempuan. Laki-laki dan perempuan berbeda sehingga keduanya dilihat bertentangan satu sama lain. Salah satu pihak mesti menaklukkan pihak lain. Jika tidak, maka ia yang akan ditaklukkan.
Penulis | : | Faqihuddin Abdul Kodir |
---|---|---|
Penerbit | : | Ircisod |
Tahun terbit | : | 2019 |
ISBN | : | 978-602-7696-80-8 |
Halaman | : | 616 |