Relevansi puisi semacam ini di zaman kiwari yang penuh ketimpangan informasi, inflasi narasi, dan krisis makna kolektif. Ketika bahasa dibajak oleh algoritma, ketika ungkapan dijerat oleh impresi instan, dan ketika estetika dikerdilkan menjadi konten, puisi yang patah dan gamang seperti dalam Buhul Gaung Lubuk Lesung justru menyuarakan bentuk ketidakberesan yang paling jujur. Ia tidak menuntut simpati, tidak menjanjikan pencerahan, tidak menawarkan transformasi batin—melainkan sekadar menunjukkan betapa sukar dan retaknya berpikir di dalam bahasa. Dan mungkin hanya puisi dengan intensitas kukuh yang masih layak dibaca hari ini: puisi yang tidak menjanjikan apa pun, tetapi membuat kita betah tinggal dalam ketegangan kata-katanya, dalam keretakan yang tak bisa direkatkan, dalam jarak yang tak bisa dikalkulasi. Dan penolakan terhadap keterpahaman, dalam pembangkangan terhadap konsensus semantik, puisi-puisi dalam kumpulan ini menyerukan satu hal yang paling mendesak bagi kritik sastra kita hari ini: keberanian untuk berpikir, bukan sekadar mengapresiasi. Ummu Ruqqayah Penikmat Seblak Ceker
Penulis | : | Astrajingga Asmasubrata |
---|---|---|
Penerbit | : | BASABASI |
Tahun terbit | : | 2025 |
ISBN | : | - |
Halaman | : | 76 |