Sajak-sajak Tia Setiadi ditulis dengan kesabaran dan ketenangan yang luar biasa. Tidak mengherankan, sajak-sajaknya terasa kalem, serba terkontrol dan terkendali. Ia bersajak dengan kekuatan nalarnya, bukan hanya dengan emosinya. Kata-kata diperhitungkan dengan cermat seksama, bukan hasil improvisasi spontan yang tidak jelas juntrungnya ... citraan-citraannya bergerak seperti cahaya yang kian memancar dan meluas.
(Joko Pinurbo, Penyair peraih Khatulistiwa Literary Award 2015)
Secara cermat Tia menghidupkan dan menyinggung karya sastra dan percakapan-percakapan dari negeri lain mulai Basho hingga Borges, Amichai hingga Wallcot--untuk menyebut sedikti nama--namun ia begitu lihai memanfaatkan pergumulan dan pembacaan mendalamnya itu dan puisinya yang bertajuk Di Jerusalem seakan-akan telah menjadi klasik. Tia Setiadi menanggapi sesuatu secara amat murni sembari tetap menggapai kebenaran dan juga keindahan; puisi-puisinya mengusung semnagat kemanusiaan dan kerendahan hati di hadapan pertanyaan-pertanyaan besar. Pendek kata, puisi-puisinya adalah "kenyataan itu sendiri."
(Joseph Woods, Penyair Irlandia, peraih Patrick Kavanagh Poetry Award dan Irodalmi Jelen Prize)
Kumpulan sajak terbaru Tia Setiadi ini sungguh layak dirayakan dan kuat, riang namun bukan tanpa pencarian yang gigih. Dibangun dari anasir dunia wadak--air, langit, tanah--tetapi terasa demikian lembut, di dalam "mazmur baka para pecinta" Tangan yang Lain terbentang padat sekaligus terbuka. Sebuah kenikmatan tersendiri membacanya.
(Elizabeth Rush Mueller, esais dan fotografer Amerika, penulis 'Still Lifes from a Vanishing City: Essays and Photographs of Yangon, Myanmar (global Directions, 2015)
Penulis | : | Tia Setiadi |
---|---|---|
Penerbit | : | Diva Press |
Tahun terbit | : | 2016 |
ISBN | : | 978-602-279-226-0 |
Halaman | : | 116 |