Pada satu tahun setelah Reformasi 1998, Wahyudin, seorang pemelajar antropologi, mendapati kenyataan mengejutkan: seni rupa kontemporer Indonesia benar-benar tak terjamah pengkaji dan peneliti antropologi di republik ini. Atas kenyataan itulah, dari pengalaman dan sudut pandang pemelajar antropologi dan penghayat seni rupa kontemporer Indonesia, buku ini terbit bersandar pada kebijaksanaan Nestor Garcia Canclini bahwa untuk memahami yang terjadi di dunia seni rupa dan budaya kontemporer, seseorang perlu menghabiskan banyak waktu di studio, galeri, museum, biennale, bursa seni rupa, dan simposium di banyak kota—berbicara dengan pemirsa yang menikmati atau menolaknya. Tak pelak lagi, buku ini adalah pengejawantahan kebijaksanaan itu sekaligus percobaanmenggalakkan perbincangan antara antropologi dan seni rupa kontemporer Indonesiasebagaimanaterjadi di pelbagai negeri lain. Hari-hari ini antropolog-antropolog kiwari seperti Arnd Schneider, Christopher Wright, Nestor Garcia Canclini, Paul van der Grijp, Roger Sansi, Stuart Plattner, dan Thomas Fillitz, untuk menyebut beberapa nama saja, giat meneliti dan menulis seni rupa kontemporer. Para antropolog itu insaf, seturut Nestor Garcia Canlini, mereka bukan hanya mengandalkan inovasi artistik dan pameran terampu untuk memikirkan antropologi, melainkan juga bernapas dan hidup berkat seni rupa kontemporer dan berkomitmen akan kontribusinya.
Penulis | : | Wahyudin |
---|---|---|
Penerbit | : | BASABASI |
Tahun terbit | : | 2024 |
ISBN | : | 978-623-305-460-7 |
Halaman | : | 284 |