Respons puitis pada manusia adalah naluri alami. Persoalannya adalah apakah kita melayaninya, ataukah mengingkarinya, bahkan mematikannya? Puisi-puisi di buku ini adalah kerja penghayatan Ibrahim Gibra, seseorang yang terus saja mengasah naluri puitis, menghidupkannya, dengan memakainya setiap kali menanggapi peristiwa kecil, percik perasaan, kilasan sinar permenungan di sudut-sudut sukma dan mindanya. Puisi-puisi seperti tumbuh menjadi tangkai lain yang rimbun dari hari-hari yang rutin, seperti upaya membaca dan memetakan arus angin. Sebagai pembaca, saya seperti diajak berjalan-jalan mengikuti arus angin, terbang ke tempat-tempat ajaib dan eksotis. Hasan Aspahani Penyair, Penulis Biografi Chairil Anwar dan Ketua Komite Sastra DKJ 2020—2023 Kumpulan puisi ini didudukkan di dalam perspektif antropologi budaya bahari yang memiliki kedekatan secara genetik, tema, dan konteks. Dalam kerangka itu, pembaca dapat memahami pengalaman panjang penyair untuk memperoleh kristalisasi nilai melalui waktu yang dilambangkan dengan “tangkai hari”, bahari yang disimbolkan dengan “arus angin”, dan eksistensi yang dibebankan pada “sebelum kata.” Eksistensi, waktu, dan kebaharian. Saifur Rohman Pengajar Filsafat di Program Doktor Linguistik Terapan Universitas Negeri Jakarta Diksi membaca angin, merakit ombak, kecipak camar, menubuh laut, membakar matahari, memilin ombak, mendaras arus, dan memunggung ombak adalah verbatim ingatan spesifik yang kemudian membangun makna sebuah kenangan dari kampungku telah datang ke masa lalu. Ibrahim Gibra telah menemukan betapa ingatan spesifik itu sangat penting dalam puisi. Ganjar Harimansyah Penulis buku Linguistik Sastrawi (Pustaka Jaya, 2022)
Penulis | : | Ibrahim Gibra |
---|---|---|
Penerbit | : | DIVA Press |
Tahun terbit | : | 2023 |
ISBN | : | - |
Halaman | : | 180 |