“Adik-adikmu tak akan pernah membencimu, Ngger. Mereka semua justru sangat menyayangimu.”
“Mereka semua kini menentangku.”
“Aku tahu Wibisana memang sejak kecil selalu melawanmu, tapi kalau kowe mau sedikit berpikir, dia sebenarnya adalah akal dari keberanianmu.”
“Dan kini Kumbakarna juga tak mau bicara denganku,” kata Dasamuka, terdengar seperti meratap.
“Bila kowe mau sedikit berpikir, Kumbakarna bisa menjadi perasaan bagi kekuatanmu.”
“Hanya Sarpakenaka yang tak pernah melawanku, tapi dia tak banyak membantu.”
“Dia juga istimewa, Ngger. Hidupnya terbelenggu oleh nafsu. Kita semua prihatin dengan takdirnya yang memimpin diri saja dia tidak mampu.”
“Apa yang harus kulakukan, Eyang?”
***
Dia bernama Rahwana. Kemudian nama itu berganti menjadi Dasamuka. Merupakan anak sulung dari pasangan yang telanjur melakukan kesalahan, Wisrawa dan Sukesi. Tapi mungkin tak sepenuhnya salah, karena ilmu Sastrajendra memang selalu membawa hal-hal yang sulit dimengerti.
Takdir telah mengikat mereka, empat bersaudara. Sampai kemudian rasa cinta itu tumbuh. Cinta yang justru membawa perpecahan di antara mereka. Cinta yang mereka definisikan berbeda. Begitu erat mereka pegang meski harus mati.
Penulis | : | Pitoyo Amrih |
---|---|---|
Penerbit | : | Diva Press |
Tahun terbit | : | 2016 |
ISBN | : | 978-602-391-232-2 |
Halaman | : | 364 |