Kuentak lagi kaki kiri ke belakang. Lalu selendang kuangkat setinggi wajah. Kuayunkan sisi selendang di tangan kanan dan mulai berlari kecil memutar. Bulir-bulir air mata rindu turun membasahi pipi. Kemudian menetes begitu sampai di ujung dagu. Terus seperti ini sampai gending pengiring gambyong berhenti.
Penari itu jiwanya ikut menari juga, bukan sekadar raga. Banyak yang bilang keadaan hatiku bisa dilihat dari bagaimana aku menari. Katanya lebih jujur daripada mendengar jawaban dari mulut. Mungkin aku memang ditakdirkan untuk terjun ke sini, menari bersama hidup. Bukan hidup bersama tarian.
***
Sekian tahun terkungkung dalam kuliah yang tak sesuai renjananya, Ajeng akhirnya dapat kembali menekuni tari tradisional setelah menyelesaikan S-1 kedokteran. Namun, itu tak mudah. Anggapan miring tentang profesi penari mesti Ajeng hadapi. Ikutilah bagaimana Ajeng menari dalam hidup dan menemukan cintanya lewat tarian.
Penulis | : | Arthasalina |
---|---|---|
Penerbit | : | Mazola |
Tahun terbit | : | 2014 |
ISBN | : | 978-602-296-022-5 |
Halaman | : | 236 |